Sabtu, 12 Oktober 2013

"Tawadhu" Down To the earth



Waktu kecil ku dulu, aku sering memamerkan mainan ku yang baru kepada teman-teman sebaya. Tidak hanya mainan, baju baru yang masih wangi toko dibelikan mama kemarin, sepatu, celana apapun yang baru selalu ku pamerkan kepada teman-teman. Belum ku kenal istilah "tawadhu" mungkin karena belum sampai ilmu tersebut dan makna dari kata tersebut di sanubariku.

Adalah suatu kebanggaan, jika kamu mendapat nilai yang bagus dari hasil "kejujuran", namun tidak lah pantas kalau berbangga dengan hasil yang bagus tapi dihasilkan dari bermain yang tidak "pantas". Adalah suatu prestasi yang membanggakan jika kamu memenangi suatu "peraduan" baik dari segi olahraga, karya tulis, lomba tapi memang dihasilkan dari seluruh kerja kerasmu sebelum melakukan peraduan, doa dan tawakalmu yang penuh kepada "penjaga dan pengatur takdir".

Kebanggaan itu sedikit ada biasnya yaitu tidak berlaku rendah hati. Merasa hasil usaha sendiri, merasa diri besar, merasa memiliki kemampuan, merasa memiliki kehebatan, merasa pintar, merasa kuat, merasa kaya dan lain sebagainya. kemampuan merasa inilah yang akan menjerumuskan. Bahkan sebagian diri, merasa bahwa dia lah, atas dasar usahanya "kebanggaan" itu diperolehnya.

Aku sudah merasakan asam garamnya yang namanya "kebanggaan" yang tidak hanya sedikit, tapi menjadikan banyak di dalam hatiku memandang orang lain, kawan, tetangga dan manusia yang lain dengan pandangan merendahkan, mengecilkan, dan meremehkan. Sejak aku di sekolah dasar, aku sudah bergelut dengan kebanggaan, "kebanggaan" yang semu, tidak berarti, tidak menghasilkan, tidak berfaedah, tidak bermakna apa-apa hanya kosong dan hampa.

Naik tingkat ke sekolah menengah pertama aku dihadapkan dengan pandangan merendahkan orang terhadap ku, dan merasa diri ini memang tidak berarti. Jauh dari pribadi yang dulu ku anggap membanggakan. Ternyata "Sang pemilik takdir" memberikan ku sentilan pelajaran yang benar-benar kurasakan. Aku sadar bahwa pandangan remeh ku terhadap orang lain karena menganggap diri ini besar runtuh dikarenakan ada yang orang yang lebih baik dari sisi pelajaran, nilai-nilai, perawakan dan lain sebagainya.

Menaruhkan kaki di jenjang menengah atas dibekali dengan tidak memandang orang lain remeh sangat membuatku nyaman. Aku merasa masa-masa ini adalah begitu mengesankan. Sehingga merasa setara dengan sesama itulah yang harus dijalankan. Meningkat ke masa "mahasiswa", maka gelar "maha" membuat ku lupa diri kemali. 1 tahun itu, membuat ku dicambuk dengan pelajaran penting oleh sang MAHA sehingga aku terpuruk di bawah. Kepindahan ku, adalah keharusan bagiku untuk menebus semua salahku.

Sampai sekarang disini, aku mulai menyeimbangkan perasaan memandang rendah orang lain dan memandang rendah diriku. "Bukan", bukan begitu seharusnya, tapi jauh lebih baiknya memandang orang lain lebih baik dari pada kita, dan memandang diri kita biasa saja. Semua kebaikan itu datang dari DIA sang MAHA, maka berpegang teguhlah pada tali dan ikuti jalan lurus para pribadi yang Mulia (NABI dan ULAMA). Dan biarkan lah "takdir" yang menata kita, namun bukan kita berpangku tangan semata, meringkuk tidur tiada guna, menengadahkan tangan tanpa usaha, putus asa tanpa kenal kata kerja, ihktiar dan berdoa "bukan" , bukan seperti itu.

Usahakan semaksimal mungkin, minimal juga tidak apa, berdoa seimbang dengan amal dan ibadah sudah seharusnya, sewajar dan dijaga keistiqomahannya walau sedikit tidak mengapa. Terakhir setelah usaha, ikhtiar dan doa sudah sempurna sertakan tawakal dan berserah diri apa adanya. Bagaimana TAWAKAL itu....ntar kita bahas lagi....hihihi....

Manusia itu terbagi dalam beberapa tingkatan :
  1. Yang tidak tahu dan merasa mengetahui dirinya tahu (pemimpi, penghayal dan orang yang sombong),.
  2. Yang tidak tahu dan tidak mengetahui dirinya tidak tahu (pembual, pandir dan banyak omong "tong kosong berbunyi nyaring).
  3. Yang tahu dan mengetahui bahwa dirinya tidak tahu (para thalabul "ilmi, pelajar, siswa dan santri dan orang yang terus belajar).
  4. Yang tahu dan mengetahui bahwa dirinya tahu (Rasul, ulama dan para orang shaleh).
Paling tidak kita harus minimal berakhir ditingkat yang ke-3 karena "syahid" matinya seorang penuntut ilmu (maka carilah guru"ulama" yang benar bacalah buku "wahai muridku karangan imam Ghazali" karena disitu ada kriteria guru yang benar) kalau kamu menemukannya, maka hiduplah dan mengabdilah kepadanya. 

Dan orang yang berpengetahuan itu di tinggikan oleh sang MAHA beberapa dejarat tingkatannya. Wallahu'alam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar